Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2019

Ingkung Ayam

Gambar
Ingkung ayam merupakan salah satu bentuk budaya Jawa yang sudah hadir dari sebelum adanya pengaruh agama-agama di Indonesia. Ingkung ayam didasarkan pada kesadaran orang-orang zaman dahulu mengenai hubungan antar manusia, hubungan manusia dan alam, serta hubungan antara manusia dengan Tuhan. Prinsip ini merupakan prinsip hidup dalam budaya Jawa yang disebut dengan kejawen. Kejawen dapat diartikan sebagai pola atau pandangan hidup orang Jawa yang hidup berdasarkan moralitas dan religi yang tercerminkan dalam hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, serta hubungan antara manusia dengan manusia lain Ingkung ayam muncul dalam berbagai acara tradisional di Jawa karena adanya kesadaran manusia akan pentingnya hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, serta manusia dengan Tuhan. Makna dan filosofi Ingkung Ayam: Ingkung ayam akan dibersihkan terlebih dahulu bulu dan jeroannya yang melambangkan usaha manusia untuk kembali bersih dan suci. Setelah itu ayam

Papeda

Gambar
Nilai tradisi mendukung sagu untuk orang Papua sebagai makanan pokok mereka, papeda. Bagi masyarakat pesisir, terutama Sentani, Papeda memiliki peran sebagai petugas yang damai. Papeda adalah singkatan dari Papua Penuh Damai. Misalnya, ketika terjadi perkelahian, Anda harus berdamai satu sama lain. Saat damai ini biasanya dilakukan dengan makan bersama. Papeda disajikan dalam wadah besar sehingga semua orang yang hadir akan berkumpul dan berputar untuk menikmati papeda bersama-sama. Terdapat ungakapan yang berasal dari masyarakat Sentani yaitu wari taise nekande yang berarti bila tidak makan papeda seperti tidak adanya harapan hidup. Sedangkan ungkapan wari pi enye yang berarti berhubungan dengan kerohanian dan mendalam yaitu manusia hanya hidup melalui sagu. Masyarakat Sentani menyebutkan Tuhan sebagai pemberi hidup, dimana masyarakat memelihara sagu di dalam hidupnya maka mereka memelihara Tuhan dalam kehidupan mereka. Sebab itu, kedua makna dari makan sagu sangat rohani, bil

Naniura

Gambar
Naniura dalam bahasa Batak berarti ikan yang diasamkan. Naniura merupakan makanan tradisional khas dari sub suku Batak Toba yang menggunakan ikan air tawar dan proses pemasakannya menggunakan asam.  Akan tetapi, tidak ada catatan tertulis pada tahun berapa naniura tercipta. Menurut Herbert Napitupulu, hal tersebut dikarenakan masyarakat Batak kurang menyukai karya tulis sehingga pewarisan budayanya hanya dilakukan secara oral kepada generasi selanjutnya. Pada mulanya, naniura dikonsumsi oleh para nelayan yang menangkap ikan di sekitar danau Toba dan pulau Samosir. Dikarenakan para nelayan tersebut mulai bekerja pada pukul tiga pagi dan tidak ingin merepotkan istri untuk memasak, maka para nelayan membawa ikan yang dimatangkan menggunakan asam jungga. Saat tengah hari, para nelayan menambahkan bumbu ke daging ikan tersebut dan dimakan sebagai lauk. Sehingga hal ini menjadi kebiasaan dan tradisi yang turun temurun. Awalnya, hanya masyarakat Batak Toba yang mengenal naniura. Bahkan

Arsik

Gambar
arsik berarti mengeringkan (sesuatu) dengan memindahkan air dari satu tempat ke tempat lainnya  Metode pemasakan arsik dilakukan dengan menambahkan sedikit air pada bahan yang telah dilumuri bumbu, lalu dipanaskan pada api kecil hingga air menguap dan kuah pada masakan menjadi kental bahkan hilang. Arsik yang dikenal dengan gulai atau pepes khas Sumatera ini dapat diaplikasikan ke berbagai jenis daging  Arsik dengan bahan dasar daging babi, kerbau, kambing, atau anjing disebut dengan juhut na niarsik. Sedangkan arsik dengan bahan dasar ikan disebut dengan dengke na niarsik. Dengke na niarsik dapat berbahan dasar berbagai jenis ikan, meskipun yang paling sering digunakan saat ini adalah ikan mas. Sebagai salah satu makanan khas dari suku Batak Toba, ikan mas arsik memiliki peran yang cukup penting untuk masyarakat Batak karena masakan ini sering digunakan sebagai jamuan khusus di upacara-upacara tertentu maupun sebagai makanan sehari-hari . Beberapa dian

Kaledo

Gambar
  Kaledo merupakan sup bening tulang kaki sapi dan sumsumnya yang disajikan saat masih panas dengan bumbu berupa cabe rawit yang telah dihaluskan, garam secukupnya dan asam jawa mentah yang terlebih dahulu direbus dan dilumatkan. Kata Kaledo berasal dari bahasa Kaili, dimana “Ka” berarti tidak, dan “Ledo” berarti keras.  Makanan khas ini banyak dihidangkan oleh masyarakat Sulawesi Tengah pada saat hari-hari besar, seperti Lebaran atau Idul Fitri yang disajikan dengan Burasa (nasi santan yang dibungkus daun pisang). Waktu makan kaledo adalah jam sepuluh pagi dan merupakan makanan selingan atau tambahan. Cara memakannya yaitu dengan cara menuangkan kuah ke dalam tulang dengan sendok kemudian menyedot sumsum yang ada dalam tulang kaki sapi dengan sedotan. Hidangan kaledo serupa dengan sop sumsum, namun yang menjadi pembeda adalah bumbunya yang lebih sedikit dan kuahnya lebih bening dibandingkan dengan sop sumsum. Kaledo khas Palu ini juga dapat dikonsumsi dengan singkong

Makanan Khas Sulawesi Selatan

Berikut merupakan beberapa makanan khas Sulawesi Selatan : 1. Coto Makassar Coto Makassar atau Coto Mangkasara adalah makanan tradisional Makassar, Sulawesi Selatan. Makanan ini terbuat dari jeroan (isi perut) sapi yang direbus dalam waktu yang lama. Rebusan jeroan bercampur daging sapi ini kemudian diiris-iris lalu dibumbui dengan bumbu yang diracik secara khusus. Coto dihidangkan dalam mangkuk dan dimakan dengan ketupat dan "burasa". Saat ini Coto Mangkasara sudah menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, mulai di warung pinggir jalan hingga restoran. Dan direncanakan mulai bulan November 2008 Coto Makassar akan menjadi salah satu menu pada penerbangan domestik Garuda Indonesia dari dan ke Makassar. Makanan ini mirip dengan sop sodara. 2. Sop Konro Sup Konro adalah masakan sup iga sapi khas Indonesia yang berasal dari tradisi Bugis dan Makassar. Sup ini biasanya dibuat dengan bahan iga sapi atau daging sapi. Masakan berkuah warna coklat kehitaman ini biasa